Kamis, 28 Februari 2008

Oh...Talang Sari.......


MANTAN Menko Polkam Sudomo tak mau bertanggung jawab atas kasus pelanggaran berat HAM Talangsari, yang terjadi pada Orde Baru. Dia menuding Hendropriyono, yang menjadi komandan Korem Garuda Hitam saat peristiwa itu terjadi, sebagai orang yang paling bertanggung jawab.

Kepada wartawan, mantan Pangkopkamtib itu mengungkapkan, dalam struktur keamanan darat, Danrem Hendropriyono paling bertanggung jawab atas kondisi di lapangan dalam peristiwa yang terjadi 1989 itu. Sedangkan dirinya mengaku tak tahu bagaimana kondisi lapangan. ’’Menurut urutannya, komandan Korem (yang bertanggung jawab, Red),” ujarnya usai diperiksa 2,5 jam di lantai II gedung Komnas HAM kemarin.

Sudomo menepis anggapan kasus itu ada hubungannya dengan Pangkopkamtib yang dikenal sebagai lembaga perpanjangan tangan kekuasaan Soeharto dalam membungkam aktivis. Pasalnya, lembaga yang dipimpinnya itu dibubarkan pada 1988.

Saat peristiwa itu, Sudomo menjadi Menko Polkam (1988–1992). Menurut dia, yang bertanggung jawab atas keamanan darat adalah kepala staf Angkatan Darat, Pangdam, komandan Korem, komandan Kodim, dan komandan Koramil. ’’Itu yang berlaku untuk keamanan di darat,” tambahnya.

Apakah Sudomo berniat lepas tangan? ’’Saya tidak angkat tangan. Saya sebagai Menko Polkam kan hanya mengoordinasi,” ujarnya. Dia lantas menyebutkan sebagian di antara sembilan lembaga di bawah koordinasinya, yakni Menlu, Mendagri, Setneg, panglima ABRI, dan Menhankam.

Sudomo bersikukuh tak tahu soal kejadian tersebut. ’’Pangab juga tidak tahu. Dia belum ngecek lagi ke bawah. Yang tahu kan KSAD, dari komandan Korem,” ujarnya.

Seharusnya sejak dulu dibentuk tim investigasi yang menentukan apakah kasus tersebut bisa dibawa ke pengadilan. ’’Tidak ada penyelesaian secara itu (pengadilan, Red). Ketentuannya (dulu, Red) sudah ada, tapi tak dilakukan,” tambahnya.

Pria yang juga pernah menjabat Menaker itu menyayangkan mengapa baru sekarang mengungkapkan kasus Talangsari. ’’Susah kalau peristiwa sudah terlalu lama. Kenapa sekarang ini baru. Kenapa tidak sebelumnya,” tambahnya.

Dia menambahkan, kalau memang cukup bukti dan saksi, boleh saja kasus yang terjadi pada 1989 itu diajukan ke pengadilan.

Sudomo pun mengaku siap bekerja sama. ’’Pokoknya sejauh mungkin memberikan keterangan apa adanya seperti yang diketahui. Pokoknya, ada urut-urutannya (pertanggungjawaban, Red),” ujarnya lantas memasuki lift.

Peristiwa Talangsari Lampung terjadi pada Februari 1989. Korem Garuda Hitam 043 Lampung yang dipimpin Kolonel (Inf) A.M. Hendropriyono menyerang sebuah kelompok pengajian di Talangsari, Wayjepara, Lampung Timur (kala itu masuk Lampung Tengah).

Alasannya, kelompok tersebut dituduh ingin mendirikan negara Islam dan anti-Pancasila. Stigma Islam sesat pun dilekatkan pada kelompok pengajian itu. Korban pun berjatuhan. Berdasarkan data Kontras, terungkap 167 orang meninggal dunia dalam kasus itu. Tak hanya itu, 88 orang dinyatakan hilang, 164 ditangkap, dan ditahan sewenang-wenang. Lalu, 48 orang diadili secara tidak fair.

Sudomo punya versi tersendiri soal peristiwa berdarah itu. Diakuinya, kasus itu berhubungan dengan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal. ’’(Danrem, Red) Mau ngecek di sana (di Talangsari, Red) termasuk hutan lindung. Tapi, hutan lindung itu diduduki, lalu anak buahnya ada yang dibunuh,” ujarnya mengungkapkan versi cerita yang dia ketahui.

Ketua Tim Ad Hoc Peristiwa Talangsari Yoseph Adi Prasetyo mengungkapkan, keterangan Sudomo membantu pihaknya melihat peristiwa Talangsari lebih jelas. ’’Nama-nama yang disebutkan menjadi referensi kami untuk memanggil sejumlah nama,” tambahnya.

Dia mengatakan, ada dua pihak yang dimintai keterangan, yakni saksi korban dan saksi nonkorban. ’’Sebanyak 80 persen dari saksi korban sudah kami panggil,” ujar pria yang akrab dipanggil Stanley itu. Sudomo, lanjutnya, adalah saksi keempat, di luar saksi korban yang telah dipanggil.

Siapa tiga nama yang sudah dimintai keterangan? ’’Kita tidak sebut sekarang karena masih mungkin dipanggil lagi,” ujarnya. Ketika ditanya apakah Hendropriyono sudah dipanggil, dia hanya mengungkapkan, mantan Pangdam Jaya itu sudah diagendakan untuk memberi keterangan. Yang jelas, pada akhir Maret seluruh pemanggilan sudah selesai. Selanjutnya Komnas HAM melakukan proses lain, misalnya membongkar makam para korban.

’’Juni kami sudah konsultasi ke Kejaksaan Agung,” tambahnya. Menurut dia, masih terlalu jauh untuk mengumumkan siapa tersangka maupun calon tersangka. Komisioner Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan lantas mengungkapkan, selain amanat Komnas HAM terdahulu, desakan publik jadi pemacu lembaganya untuk menuntaskan kasus tersebut. ’’Tak ada tekanan dari pemerintah atau desakan atau intervensi,” ujarnya.
.

0 komentar: