Sabtu, 15 Maret 2008

Guru dan politik praktis

Guru diminta tidak ikut dalam politik praktis, tapi terlibat politik kebangsaan yang berperan untuk mengkader anak bangsa.

Demikian disampaikan dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan, Bandar Lampung, Safari Daud, dalam diskusi Netralitas politik guru yang digelar Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Provinsi Lampung di Harian Umum Lampung Post, Kamis (13-3). Diskusi ini menghadirkan pembicara Dekan FKIP Unila Sudjarwo, Ketua PGRI Provinsi Lampung Iszar Matrian, dosen FISIP Unila Syarief Makhya, dan Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya dengan moderator Sekretaris FMGI Lampung Gino Vanollie.

Selanjutnya Safari Daud menjelaskan keterlibatan guru dalam politik kebangsaan lebih mengedepankan pada tugas pokok guru yakni mendidik.

Artinya sebagai pendidik, guru bertugas untuk memberikan kecerdasan kepada anak didik agar pemimpin-pemimpin yang mumpuni baik dari segi kecerdasan keilmuan, sosial, juga spiritual. "Dengan berpolitik kebangsaan, guru tidak buta politik," ujar dia.

Jadi, lanjut dia, guru jangan ikut berpolitik struktural. "Apalagi terlibat dalam partai politik (parpol), membikin parpol, apalagi ikut menjadi tim sukses," kata penulis keagamaan yang produktif ini.

Sebab, jika guru sudah terlibat dalam parpol, mereka akan meninggalkan tugas utamanya sebagai pendidik.

Ia mengakui pada saat Orde Baru, guru terimbas dalam politik praktis. Namun di era reformasi, guru diminta kembali ke "barak" (sekolah, red) untuk menunaikan tugas pokoknya sebagai guru yakni mengajar.

Hal yang senada dikemukakan Ketua KPU Kota Bandar Lampung Budihardjo. Dia mengemukakan guru hendaknya bangkit menjadi sosok yang dilihat bisa melahirkan pemimpin.

"Sehingga kenetralitasannya bukan lagi terjebak pada persoalan sekadar memilih atau tidak. Namun guru harus bersikap cerdas dalam menentukan sikap," ujar dia.

Sebab, menurut dia, saat ini persoalan SDM menjadi satu masalah utama yang dihadapi. "Makanya guru harus mendorong bagaimana bisa melahirkan sosok-sosok pemimpin yang peduli pada dunia pendidikan. Karena hingga saat ini, tidak ada pendidik yang mendorong bagi siswa didiknya untuk menjadi pemimpin masa depan," ujarnya.

Kondisi ini, lanjut dia, bisa dilihat dari hasil verifikasi calon anggota legislatif tahun 2004 lalu. Di mana 80 persen peserta yang mengikutinya memiliki prestasi akademik yang sangat rendah.

Dekan FISIP Unila Hertanto pun sepakat guru merupakan penjaga moral bangsa. "Namun menjadi pertanyaan siapa yang akan memperjuangkan hak-hak mereka kalau tidak bersinggungan dengan politik."

Bahkan Hertanto memberikan satu pertanyaan kepada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), apakah tingkat kesejahteraan serta terakomodasinya keinginan anggota lebih bisa dilakukan selama masih bergabung bersama parpol atau ketika sendiri seperti saat ini.

Sedangkan Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Sobirin mengatakan selain harus netral, guru juga harus mengetahui situasi politik. "Tapi guru pun harus cerdas dalam melihat pelaku politik. Sehingga nantinya tidak terbawa pada emosional semata-mata," ujar dia.

Komentar lain dilontarkan Sekretaris Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) Lampung, Helmi. "Guru tidak bisa berbuat netral. Guru harus ambil posisi yang baik. Karena bila tidak, guru tidak akan memiliki posisi tawar yang baik. Sehingga tidak akan disisihkan," ujarnya. Sementara Khaidarmansyah dari Dinas Pendidikan Provinsi Lampung mengemukakan guru terbagi dua, yakni guru PNS dan non-PNS. "Kalau guru PNS, dia akan terjebak dengan aturan-aturan di mana salah satunya PNS dilarang terlibat politik praktis."

Apalagi, menurut dia, posisi guru merupakan fungsional. "Makanya yang mesti dikedepankan adalah kemampuan kompetensinya terutama di empat hal, yakni teknis, pedagogis, sosial, dan kepribadian. Sehingga guru sebagai fungsional memiliki kode etik yang mesti dijalani. Oleh karena itu, guru harus netral, tidak berpolitik praktis," ujar Khaidarmansyah lagi.

0 komentar: